Persoalan dan Gagasan Pendidikan Nasional

Cetak

Resensi buku Calak Edu 3 karya Ahmad baedowi

Malang Pos | Minggu, 27 Desember 2015 | Muhammad Khambali


Buku Calak Edu 3 ini menguraikan berbagai persoalan sekaligus gagasan untuk pendidikan nasional di Indonesia. Ahmad Baedowi dalam tulisan esai mengenai pendidikannya tidak hanya berisi kritik, namun juga menawarkan solusi alternatif guna perbaikan dunia pendidikan.

Menurut Ahmad Baedowi potret pendidikan kita adalah sebuah paradoks. Ketika hasil PISA mengatakan para siswa di Indonesia termasuk dalam kategori siswa paling bahagia. Sementara hasil pemeringkatan PISA menunjukkan para siswa Indonesia berada pada level terendah dalam penguasaan matematika, sains, dan literasi.

Sebuah ironi, ketidaktahuan menjadi sebuah kebahagiaan. Maka jangan-jangan selama ini pendidikan nasional tidak melakukan pekerjaan pendidikan (education), tetapi lebih memilih mengurusi aspek edu-tainment, Yang penting bagaimana membuat anak-anak bahagia, meskipun mereka bodoh (hlm 39).

Secara psikologis, jelas sekali ada paradoks yang besar antara capaian akademik yang rendah dan rasa bahagia ini. Ada yang salah dengan sistem persekolahan. Orientasi pendidikan yang selama ini berfokus pada hasil membuat proses belajar tak lagi penting. Siswa bersenang-senang di sekolah, tetapi tidak sungguh belajar.

Rendahnya hasrat belajar berbanding lurus dengan rendahnya tradisi literasi di sekolah. Setali tiga uang dengan minimnya budaya membaca. Bagi Ahmad Baedowi hal itu disebabkan oleh kebijakan Ujian Nasional. Tradisi membaca tak tumbuh karena dalam proses belajar mengajar di sekolah, anak-anak lebih banyak diajarkan untuk menghafal, terutama menghafal jenis soal yang akan keluar dalam Ujian Nasional (hlm 68). Kebiasaan menghafal, membuat membaca menjadi aktivitas yang membosankan.

Ahmad Baedowi menyesali generasi pembaca tak tumbuh dengan baik karena belenggu kebijakan pendidikan memang sengaja tak menciptakan kecintaan terhadap membaca. Orientasi terhadap hasil berupa kelulusan dan ijazah semata melahirkan frustrasi belajar. Menciptakan minimnya minat baca dalam mengarungi fantasi belajar yang menyenangkan.

Gejala-gejala rendahnya budaya membaca dan hasrat belajar juga banyak disebabkan oleh politik pendidikan yang hanya berorientasi kepada dunia kerja. Dalam pandangan demokrasi liberal dan kapitalisme, pendidikan selalu diarahkan untuk mengembangkan apa yang disebut sebagai human capital. Pendidikan nasional terjerumus ideologi yang memandang para siswa semata human capital milik industri dan negara, dan karenanya sekolah harus dikelola dengan cara-cara produksi (hlm 92-94).

Selanjutnya buku ini membahas mengenai politik pendidikan nasional. Pendidikan tak terlepas dengan politik, dan politik adalah bagian dari pendidikan itu sendiri. Politik pendidikan kita semestinya mengacu pada nilai identitas bangsa ini. Salah satunya adalah mengenai politik bahasa.

Bahasa menjadi kata kunci teramat penting yang tidak bisa dilepaskan dari politik bahasa dan kebijakan sebuah bangsa. Pentingnya bahasa sebagai alat pemersatu, bukan pemecah-belah keragaman, adalah distingsi yang harus terus dipelihara sebagai sebuah kebijakan negara yang tidak bisa ditawar, termasuk di sekolah (hlm 130).

Bagi para murid di pedesaan, bahasa ibu mereka bukan bahasa Indonesia, melainkan bahasa daerah. Hal ini yang menjadikan politik bahasa menjadi sangat penting. Ahmad Baedowi melihat pentingnya menjadikan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di TK sampai tahun-tahun awal di SD. Dan juga menyarankan adanya otonomi pendidikan agar pemerintah daerah mendesain sendiri buku-buku berbahasa lokal (hlm 131).

Ahmad Baedowi mengutarakan bahwa mengurusi pendidikan adalah proses yang tiada akhir (hlm 224). Ditulis dengan gaya bahasa yang lugas dan kritis, Ahmad Baedowi mempersoalkan berbagai paradoks yang terjadi dalam dunia pendidikan nasional. Komarudin Hidayat memberikan apresiasi terhadap buku Calak Edu 3 ini sebagai bagian dari proses belajar bersama untuk perbaikan pendidikan. Berharap menginspirasi para guru, kepala sekolah, dan praktisi pendidikan dalam membangun budaya dan lingkungan pendidikan yang positif dan lebih baik.