Meneladani Laku Kehidupan Sang Nabi

Cetak

Resensi Buku Samudra Keteladanan Muhammad Karya Nurul H. Maarif

Koran Jakarta | Jumat, 23 Juni 2017 | Fajar Kurnianto


Nabi Muhammad adalah sosok agung, gambaran ideal bagi manusia yang ingin menempuh jalan kebaikan dan kemuliaan di tengah problem modernitas yang hampa spiritualitas dan kosong sisi-sisi manusiawinya. Lahir di tanah tandus gersang Mekah, dalam keluarga terhormat, punya garis keturunan dengan orang-orang mulia di masa lalu, Muhammad punya kepekaan sosial yang tinggi terhadap problem-problem yang dihadapi masyarakatnya. Kepekaan yang muncul dari kebeningan batin dan kejernihan pikiran serta keberanian untuk melakukan perubahan secara radikal tata kehidupan sosial dan keagamaan yang telah jauh menyimpang dari nilai-nilai ilahiah dan insaniah.

Tidak ada yang menyangkal bahwa Muhammad adalah tokoh penting dalam sejarah yang mampu membuat perubahan besar di Jazirah Arab kala itu, bahkan dunia, hingga saat ini. Seperti halnya tokoh-tokoh besar agama sebelumnya.

Buku Samudra Keteladanan Muhammad yang ditulis oleh Nurul H. Maarif ini menjadi salah satu dari banyak buku yang memotret kehidupan seorang Muhammad dari sumber-sumber sejarah klasik. Namun, berbeda dengan sejumlah penulis sejarah pada umumnya yang memaparkan kajiannya berdasarkan kronologi, buku ini memotret sejarah Muhammad dari perspektif kemanusiaan atau sisi-sisi manusiawinya. Muhammad tidak semata dilihat sebagai seorang mulia dan suci utusan Tuhan, tetapi juga sosok manusia biasa seperti kita yang biasa bergaul dengan orang-orang di sekitarnya, punya istri, punya anak, punya sahabat, punya pekerjaan, bahkan punya musuh yang selalu mengganggu dan mem-bully-nya.

Di buku ini, Muhammad dilihat dari sisi karakter atau kepribadiannya, serta kebiasaan yang dilakukannya sehari-hari, juga dari sisi kesosokannya yang begitu dekat atau merakyat. Disebutkan, Muhammad dekat dengan orang tanpa membeda-bedakan keyakinan dan kepercayaannya. Dalam perjalanan hijrahnya ke Madinah, ia dituntun oleh seorang penunjuk jalan nonmuslim, bahkan seorang pagan, bernama Abdullah bin Uraiqit Al-Laitsi. Salah satu mertua Muhammad juga adalah seorang Yahudi Bani Quraizhah, bernama Huyay bin Akhtab, ayah Shafiyah, istri Muhammad. Hubungan dengan sang mertua yang nonmuslim ini terus berlanjut layaknya kekerabatan. Dikabarkan, sampai meninggal dunia, Huyay tetap memeluk Yahudi. Waraqah bin Naufal, seorang pendeta Nasrani, adalah sepupu istrinya, Khadijah binti Khuwailid. Dialah yang menjelaskan kepada Muhammad bahwa pengalaman spiritual Muhammad di gua Hira sama seperti pengalaman Musa yang ditemui Namus (Jibril) di masa lalu (hal. 159).

Karakter Muhammad yang menarik juga adalah kecintaan dan kasih-sayangnya terhadap anak yatim. Dikisahkan, ketika Muhammad ke luar rumah untuk mengerjakan salat Idul Fitri, ia melihat anak-anak kecil bermain. Namun, ada satu anak yang tampak memencil dan menyendiri, tidak ikut bermain, malah menangis sedih. Ia pun mendekati sang anak dan menanyainya. Sang anak menjawab bahwa ayahnya mati dalam peperangan, ibunya menikah lagi, rumah dan hartanya diambil-alih sang ibu. Akibatnya, ia tak punya pakaian, lapar dan hanya dapat menangis.

Membaca buku ini, kita seperti melihat wujud nyata seorang Muhammad yang punya karakter amat kuat yang layak diteladani. Kepribadiannya yang baik, jiwanya yang bersih, pemikirannya jernih, luas dan terbuka, membuatnya diakui sebagai manusia terhormat.