Membuka Ruang Baca di Mancanegara

Cetak

Resensi buku Membangun Ruang Baca karya John Wood

Koran Jakarta |Rabu, 24 Desember 2014 | Al Mahfud


Membaca adalah jalan membuka jendela dunia. Karena itu, menjadi penting bagi manusia di belahan Bumi mana pun untuk memiliki akses yang cukup pada buku, untuk membaca.

Ruang baca yang representatif dibutuhkan di berbagai wilayah. Hal itulah yang menjadi penggerak bagi John Wood untuk berupaya menyediakan ruang baca di berbagai tempat di dunia.

Melalui buku ini, mantan pejabat Microsoft itu mengisahkan perjalanan jatuh-bangun dalam menyediakan perpustakaan-perpustakaan di pelosok- pelosok desa dan sekolah-sekolah di pedalaman. Menyediakan ruang baca di tempat-tempat tertinggal tentu bukan hal yang mudah.

Dibutuhkan tekad yang kuat dan konsistensi menghadapi berbagai kesulitan dan risiko. Ini disadari sepenuhnya oleh John Wood. Dalam sebuah wawancara, ketika ditanya mengenai apa yang sebenarnya ia inginkan ketika merintis Room to Read, ia menyatakan, “Tujuan saya, agar anak-anak di mana pun punya akses terhadap literasi dalam bahasa ibu mereka sejak usia dini” (halaman 2).

Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa tujuan jangka panjangnya adalah mematahkan anggapan bahwa anak-anak yang mana pun dapat diberi tahu bahwa mereka “lahir di tempat yang salah, dari orang tua yang salah” dan karenanya tidak akan mendapatkan pendidikan (halaman 11). Niat yang kuat tersebut kemudian terlihat dari kisah-kisah selanjutnya yang dijelaskan dalam buku ini.

Salah satu hal yang menjadi strategi Room to Read dalam mendorong orang-orang untuk mau membaca adalah model hibah-tantangan (halaman 51). Di sekolah, misalnya, hal tersebut dilakukan dengan model investasi bersama. Dalam arti pihak sekolah yang dibantu coba dipahamkan bahwa upaya itu adalah untuk mereka, dan oleh karena itu mereka harus peduli dengan keberlanjutannya.

Strategi ini terbukti ampuh, bahwa dengan komunikasi yang mengedepankan kebersamaan dan saling pengertian, pihak-pihak mana pun akan menjadi terbuka dengan apa-apa yang datang padanya, asal itu jelas demi kebaikan mereka sendiri. Upaya mengembangkan ruang baca tak hanya soal bagaimana “membujuk” pihak-pihak sekolah, pemerintah, atau berbagai lembaga untuk diajak bekerja sama.

Yang jauh lebih urgen dan menjadi inti dari upaya itu adalah bagaimana menumbuhkan minat baca pada anak-anak yang menjadi sasaran utamanya. Dalam salah satu bab, disinggung mengenai sebuah strategi tentang hal tersebut. Strategi itu bernama “Baca dan Lari” (halaman 352).

Kegiatan “baca dan lari” yang diaplikasikan di suatu daerah di Bangladesh dengan menggabungkan energi yang dimiliki oleh anak-anak untuk bermain di luar rumah dengan kesenangan membaca. Pada akhirnya, apa yang dilakukan oleh John Wood dan kelompoknya di Room to Read seharusnya dapat menginspirasi dan memotivasi kita.

Paling tidak, untuk lebih peduli pada budaya membaca di kalangan anak-anak. Hal tersebut dapat dilakukan dengan halhal sederhana di sekitar kita. Misalnya dengan membuka perpustakaan di rumah untuk anak-anak di lingkungan sekitar. Bagaimanapun, hal-hal besar selalu berawal dari hal kecil.