Gagasan Toleransi Thomas Jefferson

Resensi buku Kontroversi al-Quran Thomas Jefferson karya Denise A. Spellberg

Suara Merdeka | Selasa, 10 Juni 2014 | Muhammad Bagus Irawan

 

Agama adalah urusan keyakinan hati nurani yang dimiliki setiap orang. Keyakinan beragama menjadi hak setiap manusia untuk menjalankan ajaran-ajarannya. Hak ini menjadi asasi, karena apa yang di sini merupakan hak terhadap seseorang, adalah kewajiban terhadap sang Pencipta.” Begitulah petikan dari rancangan Undang-Undang Kebebasan Beragama yang ditulis Thomas Jefferson.

Selanjutnya di lain kesempatan, Jefferson memaparkan: “Setiap manusia harus memberikan pertanggungjawaban dirinya sendiri dihadapan Tuhan. Oleh karena itu, seharusnya manusia memiliki kebebasan dengan cara terbaiknya untuk melayani Tuhan. Jika pemerintah bisa bertanggung jawab kepada individu dalam penilaian tersebut, biarkan mereka dikendalikan oleh hal itu dalam hal agama, namun jika tidak, biarkan mereka bebas.” Dan riwayat tulisan yang berisi gagasan toleransi terakhirnya adalah: “Kasihilah tetanggamu—manusia seperti dirimu sendiri—dan negaramu, lebih dari mengasihi dirimu sendiri.” tulis Jefferson sebelum kematiannya.

Buku bertajuk Kontroversi Al-Qur’an Thomas Jefferson ini mendedahkan pada khalayak bagaimana pikiran dan gagasan Thomas Jefferson memandang Islam. Bagaimana seorang Jefferson salah seorang pendiri Amerika Serikat, bisa mempunyai al-Qur’an? Lebih-lebih mampu menerjemahkan gagasan toleransi yang dikandungnya? Buku ilmiah karangan Denise A. Spellberg ini ditulis dengan pendekatan historis, dan berupaya mengajak pembaca kembali menelusuri momen-momen di awal pendirian Amerika Serikat.

Islam di Amerika, barangkali memperoleh stigma negatif sebagai teroris, namun tahukah bila pendiri Amerika berusaha membentuk sebuah negeri yang ramah semua gama? Meski pendiri Amerika sebagian besarnya adalah penganut Kristen protestan, namun ada segelintir pemimpin yang punya pemikiran plural. Tak dimungkiri, banyak orang sekarang akan merasa kaget gagasan tersebut muncul pada masa itu, namun telah banyak bukti menguatkan hal ini., sebagaimana ditulis Denise pada pendahuluan. Pada 1776, Jefferson menulis di antara catatan pribadinya: “Tidak seorang pun dari kalangan Pagan maupun Muslim atau warga Yahudi boleh dikecualikan dari hak-hak sipil persemakmuran karena agamanya.” Catatan itu ditulisnya beberapa bulan setelah ia menulis Deklarasi Kemerdekaan, ketika ia kembali ke Virginia untuk menyusun undang-undang baru bagi Amerika.

Ide John Locke

Jefferson mengadopsi preseden hak-hak sipil bagi Muslim dari traktat yang ditulis filsuf Inggris John Locke pada 1689, ‘A Letter Concerning Toleration’. Ide-ide Locke tentang toleransi terhadap Muslim dan Yahudi memicu serangan terhadapnya. Seorang kritikus mengecamnya karena memiliki "iman seorang Turki", dan dia pun dituduh menyimpan Al-Quran yang oleh para pengecamnya disebut sebagai "Injil Muhammad". Selama berabad-abad, praktik memfitnah orang dengan cara menghubungkannya dengan Islam sangat umum dilakukan penganut Kristiani di Eropa. Dan praktik ini pun menyeberangi Samudera Atlantik sampai ke daratan Amerika. Jefferson, karena pandangannya yang luas tentang kebebasan beragama dan kesetaraan politik, mengalami serangan berulang kali sebagai "kafir"—kata yang pada masanya berarti bukan sekadar tidak beriman, melainkan juga seorang Muslim.

Dalam catatan Denise, Jefferson mungkin tertarik membeli al-Quran bukan atas dasar ingin mengetahui Islam, melainkan sebagai kitab hukum, karena pada saat itu ia juga memesan banyak karya bahasa Inggris terkait yurisprudensi. Pastinya dia cukup surprise membaca definisi penerjemah yang menyebut Nabi (Muhammad) sebagai pemberi ketentuan hukum bagi orang-orang Arab. Meski Sale menyebut Islam sebagai agama palsu, dia juga memuji Nabi sebagai “pribadi yang indah, punya kecerdasan yang mendalam, perilaku yang menyenangkan, mengasihi orang miskin, sopan kepada setiap orang, kukuh di hadapan musuh, dan di atas segalanya, memiliki penghormatan yang sangat tinggi atas nama Allah”. Sale juga menolak mendefinisikan Islam disebarkan oleh pedang saja dengan mengingatkan pembacanya bahwa orang Yahudi dan Kristen juga berperang atas nama agama mereka.

Para pengkritik menuduh Sale terlalu adil menggambarkan Islam, sehingga pengusaha misionaris Anglikan yang mempekerjakannya pun menolak hasil terjemahannya itu. Sale pun dianggap sebagai sebagai "setengah Muslim" oleh sejarawan Inggris Edward Gibbon pada 1788. Setali tiga uang dengan Jefferson, nasib Sale pun pada akhirnya berujung pada fitnah yang serupa bagi Jefferson. Pandangan toleransi kala itu memang diperuntukkan menentang gagasan konsep Negara Kristen yang akan mengungkung kebebasan Amerika. Hal itu diungkapkan Jefferson secara dramatik dalam autobiografinya, bahwa upaya lawan-lawannya untuk mengubah redaksional dengan menambahkan Yesus Kristus di bagian pembukaan undang-undang tidak berhasil. Dan kegagalan tersebut menjadikan Jefferson semakin yakin untuk menegaskan maksudnya agar penerapan statuta itu berlaku universal. Dengan ini dia memaksudkan kebebasan beragama dan persamaan hak politik bukan hanya eksklusif bagi umat Kristiani saja tapi juga umat lainnya.

Kendati demikian, meskipun Jefferson gigih memperjuangkan kesamaan hak sipil Muslim, dalam anggapan penulis, dia tak pernah tahu bahwa Muslim pertama Amerika—para budak dari Afrika Barat—tidak memperoleh kebebasan yang dikiranya berlaku universal. Pendiri negara Amerika itu bahkan mungkin saja memiliki budak Muslim, meski tak ada bukti pasti tentang hal itu. Namun tak diragukan lagi, bahwa Jefferson sejak awal membayangkan Muslim sebagai sesama tetangga di masa depan negaranya, sebuah ramalan yang sudah dapat dipastikan kebenarannya saat ini.

System.String[]